Waktu memang tak pernah
berhenti, kecuali memang jam tangan yang aku kenakan menjadi sangat lambat
untuk dilalui. Mungkin juga dalam hidup ini aku harus melompati 3 jarum pada
jam yang akan terus berputar. Mendengarkan suara lengkingan tertawa bahwa
seakan-akan dia menertawakan aku, menertawakan saat aku sudah kelelahan,
kehabisan persediaan makanan, dan bosan untuk lompat lagi.
Itu yang aku rasakan
beberapa tahun lalu, aku benar-benar lelah, aku mendengar suara
sahabat-sahabatku, tapi aku tak dapat melihatnya. Mereka menuntun jalanku, agar
aku bisa keluar dalam ruang gelap itu, tapi aku tak menemukan tangan mereka
untuk aku gapai. Seakan semakin menjauh, menjauh, menjauh dan menjauh. Aku terus
berusaha meraba adakah lorong yang bisa menolongku berjalan. Tapi ternyata
tidak, seakan aku hanya berjalan di ruang angkasa, gelap, dan radio dalam
otakku bila aku mendengar suara mereka untuk menuntunku keluar.
Lama aku berada disana,
aku masih mencoba untuk membuat mataku terbuka, lebih terbuka dan memaksanya
untuk keluar dari wajahku agar mataku ini bisa berlari mencari pertolongan. Mataku
sudah terlepas, aku berusaha mencarinya. Aku lepas sepatu kesayanganku,
berharap aku bisa menyentuh sesuatu, mungkin saja aku menemukan mataku. Tanganku
meraba apa yang ada di kanan, kiri dan depan. Sedangkan kakiku merasakan benda
dingin yang ku pijak. Sangat lama aku berada dalam hal seperti ini, dan aku
lelah. Aku sudah lelah untuk mencari jalan keluar, aku lelah mencari cahaya dan
mataku.
Dalam tempat kosong ini,
aku hanya menjerit. Aku tak bisa menangis lagi. Tadinya aku masih bisa menangis
sebelum mata ini hilang. Aku merasakan bahwa hatiku memang benar pedih. Sangat pedih!
Seharusnya memang aku tak memaksa mataku untuk mencarikanku cahaya. Aku berusaha
sekuat tenaga memutar otak , memutar segala cara agak aku bisa terselamatkan. Baiklah,
aku memang tak bisa menangis saat ini, tapi aku harus tetap mencari jalan
keluar untuk menemui teman dan orangtuaku. Aku mulai berdiri, aku kembali
meraba sekitarku, aku berusaha mendengar, mendengar suara sahabatku yang
memanggilku. Aku harus ke arah suara itu. Mereka memanggilku agar aku tahu
dimana pintunya.
Dengan perlahan aku masih
berusaha fokus, aku mendengar suara itu semakin dekat, mungkin aku harus
berjalan lebih cepat lagi. Aku harus kedepan! Ya, di depan ada mereka. Suara ibu,
suara ayah, dan aku mendengar suara adikku. Semakin lama aku mendengar suara
teman-temanku. Banyak sekali, aku yakin teman-temanku berkumpul disana untuk
menantiku. Aku harus mempercepat langkahku! Aku tidak boleh membiarkan mereka
menunggu terlalu lama.
Aku berhenti.
Aku menyentuh sesuatu.
Hangat, lembut, dan ....
Ada seseorang disini. Aku meraba, meraba dan
benar. Ada yang menemaniku disini! Aku sedikit bahagia, setidaknya masih ada
yang menemani aku, dan aku tak sendirian lagi seperti tadi. Aku berusaha bekata
padanya, tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara! Aku tak bisa bicara!
Oh Tuhan .... apa aku kehilangan pita suaraku juga? Hampir aku jatuh
terduduk. Tapi kemudian orang ini memelukku. Ingin aku tanya siapa dia, tapi aku
tak bisa. Memelukku cukup lama, hingga aku bisa berdiri kembali. Kemudian dia
mulai berbicara ..
“Aku tak akan
menyakitimu, aku mencintaimu, aku tahu kamu juga mencintaiku.”
Aku mengenal suara ini, suara orang yang paling aku cintai. Dan aku
kembali gembira. Aku gembira dia menolongku, walaupun saat itu dia
menyakitiku..
Kemudian dia memelukku kembali. Aku merasakan saat ini aku
benar-benar dilindungi olehnya. Dia menjagaku saat ini. Ya, “saat ini”.
Lama dia memelukku,
kemudian dia menuntunku berjalan. Aku masih merasa sangat bahagia, bahagia yang
tak terbayangkan. Dan tak pernah aku rasakan. Pasti dia membantuku untuk keluar
bersamanya dan berbahagia dengannya. Hatiku saat itu berbunga, mungkin lebih
tepat dengan istilah kasmaran. Aku tak dapat melihat, tapi aku sangat
merasakannya. Merasakan cintanya di dekatku. Aku juga sangat merasakan bahwa
suara orangtua dan teman-temanku semakin samar-samar menghilang. Aku hanya
sesaat terfokuskan oleh suara itu, mungkin karena aku sedang sibuk memegang
tangannya. Aku tak memperdulikan lagi suara itu, yang aku pikirkan hanyalah dia
yang akan membawaku keluar, nanti saat aku keluar aku akan memeluk orangtua dan
teman-temanku. Bercerita tentangnya bila dia yang menolongku saat ini.
Aku tak merasakan lelah
bila ada dia disampingku. Mungkin karena perasaan senangku saat ini. Aku berhenti
sejenak untuk mengambil nafas. Hirup, kemudian hembuskan. Saat aku menghembuskan
nafasku aku tersadarkan, dia tak menggenggam tanganku lagi. Kemana dia? Kembali
aku meraba sekitarku. Aku mencoba berjalan pelan. Tapi, kaki ini perih, suara
air mulai muncul, melewati kakiku, semakin perih jika air ini semakin naik
menuju lututku. Aku menyentuh air ini dan mencoba merasakannya dengan lidahku. Asin!
Ini air laut. Tapi kenapa kakiku sangat perih? Lalu aku menyentuh lututku dan
merasakan menggunakan lidahku. Ini darah! Kakiku berdarah! Kenapa! Sakit sekali
jika aku berjalan, aku berusaha berbalik. Menahan rasa sakit di kakiku. Tapi aku
sudah tak bisa lagi berjalan jika air ini semakin tinggi! Aku lelah, sakit dan
perih!
Aku terjatuh! Pingsan,
basah dan dingin. Kemudian aku tak merasakan apa-apa lagi. Aku biarkan badan
ini dibawa air. Air yang mungkin akan menyeretku ke tebing tinggi dekat air
terjun, dan terus menyeretku turun dan menghempaskan badanku ke bawah tebing
dengan batu-batu besar yang siap memecahkanku menjadi keping-keping dading
asap.
Tiba-tiba ada cahaya putih
dari kejauhan, semakin mendekat dan semakin silau. Kemudian aku bisa melihat
diriku sendiri. Dengan badan penuh darah dan memar biru. Apakah aku sudah mati?
Apa aku benar-benar sudah dalam dunia yang berbeda? Tadinya aku masih mencari
cahaya. Masih menggenggam tangannya. Masih mendengar suara mereka. Masih bisa
merasakan hangat.
Dari kejauhan aku
mendengar suara tangisan, banyak tangisan. Itu yang sangat meyakinkan aku bila
aku sudah akam on the way menuju neraka. Tuhan, maafkan aku. Tetapi aku salah. Ternyata
semua teman-temanku, orangtuaku, keluargaku. Berlari menuju badanku terkulai..
Berlari dengan sekujur
tubuh penuh luka lebam. Apa mereka semua mencoba ikut ke neraka bersamaku? Apa hanya
aku yang berpikiran bodoh saat sudah mati? Aku mulai binggung dengan situasi
seperti ini. Aku harus menjadi gila atau menjadi hantu. Setelah lama aku
melihat mereka aku tahu, bahwa mereka tidak bisa menuntunku ke jalan keluarnya.
Mereka sudah lelah berteriak agar aku mendengar. Tapi aku menghiraukannya. Kehilangan
pita suaranya juga, sama sepertiku. Tapi mereka masih bisa mengejarku. Mereka rela
sakit, luka, mati hingga aku selamat. Agar aku tidak jatuh dalam tempat yang
lebih dalam lagi. Meskipun akhirnya nanti mereka akan benar-benar kehilanganku,
setidaknya mereka masih memperdulikanku untuk yang lebih baik. Dan aku melihat
itu.
Aku juga melihat, yang
sangat jelat terlihat adalah ibuku. Tangisannya, lukanya dan sedihnya akan
kehilanganku. Kemudian aku memikirkan kembali saat masa kecilku. Bagaimana seorang
ibuku ini menjagaku, mencari uang untuk membelikanku susu. Menjual apa saja
yang memungkinkan bisa di jual. Rela tidak makan hanya untuk aku, agar aku bisa
makan bergizi. Sedangkan ibu hanya makan nasi kemarin yang sudah dikeringkan
kemudian dimasak kembali. Tapi aku egois. Aku makan nasi yang baru ibu beli di
pasar! Itu saja aku tak mau menghabiskan, dan ibu juga yang memakan habis sisa
makananku. Aku jahat!
Setelah besar aku tidak mau diatur. Aku ingin bebas bu .. aku ingin
seperti teman yang lain. Bermain hingga hatinya puas. Aku salah, maaf bila aku
tak mengetahui bahwa aku memang sangat mengkhawatirkanmu bu.. aku baru
mengetahui saat ini bahwa di luar sana memang menyakitkan. Maaf aku tak pernah
mendengarkanmu. Aku hanya menganggap angin lalu saat ibu memarahiku. Maafkan aku
bu... Saat aku dewasa aku sudah mengenal lelaki. Lelaki yang sangat aku cintai.
Setiap hari aku mengucapkan sayang padanya. Tapi aku tak pernah berkata padamu
bu .. Aku tak pernah bilang di hadapanmu “Aku
mencintaimu bu ...” dan saat ini aku hanya bisa meminta maaf.
Kemudian melihat sesosok
ayah. Di waktu kecil ayah yang merawatku. Membersihkan kotoranku saat aku masih
bayi, memandikanku, menggendongku sampai aku tertidur, rela lumpuh setengah
badan karena terlalu sering menggendongku agar aku tidur. Maaf ayah, bila aku
tahu itu berat untukmu aku pasti tidur di kamar sendiri. Saat hujan badai masih
rela bekerja jauh, mencari pekerjaan di luar kota hanya untuk mencukupi
kebutuhan giziku. Aku ini benar-benar egois.. Berusaha membimbingku dengan
keras, dulunya memang aku menganggap itu sebagai momok. Tapi aku sekarah sudah
mengerti apa maksud ayah mendidikku seperti itu, agar kelak aku bisa membimbing
adikku dan membahagiakan orangtua. Aku juga tak pernah berkata dihadapanmu ayah
jika “Aku mencintaimu .. Sangat mencintaimu .” teringat jika
ayah berkata “Nanti kalau kamu
sudah sukses, ayah nggak mau pakai uangmu. Meskipun nanti kamu sudah berhasil
lalu lupa pada ayah, ayah sudah cukup bahagia melihatmu bahagia”
Dan kemudian saudaraku
yang sangat aku sayangi. Meskipun kita sering bertengkar, aku sayang padamu. Sangat
sayang padamu. Maaf jika aku pernah egois tidak mau mengalah padamu. Dan maaf
juga bila aku pernah membuatmu menangis karena aku marah padamu. Maaf jika saat
itu aku pernah bertanya yang mungkin tak pelu ditanyakan “Kalau kakak
mati, kamu gimana?” Maafkan aku ya,
sampai saat ini aku masih belum jadi kakak yang terbaik untukmu. “Aku mencintaimu
..”
Teman-teman terbaikku. Maaf
teman, jika aku adalah orang yang sangat menyebalkan, merepotkan dan
menyusahkan untukmu. Mulai dari masa perkenalan hingga akhirnya aku pergi, ini
sangat menyenangkan. Mungkin saat ini aku sudah tidak bisa bercerita apa yang
aku alami lagi. Bahkan saat ini aku tidak bisa bercerita kisahku saat ini. aku
ingin kembali bersama kalian, aku ingin tertawa bersamakalian kembali. Aku tak
ingin pergi. Kita sering bersama, tapi aku juga tidak pernah mengucapkan “Aku mencintai
kalian ..” Maaf jika kepergianku ini tidak aku bicarakan kepada
kalian terlebih dahulu. Aku disini melihat kalian, mencintai kalian semua yang
aku kenal. Dan aku bahagia..
Aku sangat bahagia memiliki orang seperti kalian. Aku sudah terseret
jauh dalam buih air. Tapi semua kenangan tentang kalian tidak akan pernah aku
lepaskan walaupun aku menghantam batu karang ini.
@aisyaahandayani